Lahirnya realisme dalam sejarah teater barat menandai optimisme abad 20. Optimisme itu terasa dengan mendudukkan manusia secara individu sebagai pihak yang dapat menjadi agen perubahan. Karya–karya Ibsen yang berani mengungkapkan kebobrokan moral masyarakat saat itu membuktikan sebagai individu yang bersikap “memberontak nilai-nilai”. Ibsen menganggap bahwa kebobrokan moral kaum pejabat dan borjuis waktu itu terlampau ditutup-tutupi dengan norma-norma yang terlalu mengagungkan keberadaan manusia sebagai makhluk yang tak boleh jatuh martabatnya. Akibat peng-agung-agungan tersebut maka banyak sekali kebobrokan moral yang disembunyikan baik secara individu maupun bersama-sama. Masyarakat waktu itu bersikap bungkam dan membiarkan saja perilaku menyimpang dari para pejabat yang seharusnya menjadi panutan mereka. Mereka menganggap bahwa semua manusia harus terlihat sempurna dan tidak boleh terlihat cacat baik fisik maupun moralnya.
Selama hampir seratus tahun, teater hanya menggambarkan ilusi tentang kenyataan di atas panggung. Saat itu teater mengungkapkan kenyatan keseharian apa adanya, tanpa stilisasi. Oleh sebab itu istilah representasi dan presentasi digunakan untuk menginterpretasikan kenyataan tersebut (Kernoddle, 1967). Dalam karya-karya Ibsen terlihat bahwa perlawanan terhadap sistem nilai semacam itu dilakukan oleh individu-individu dan bukan oleh sebuah institusi. Tokoh-tokoh yang diciptakan dalam sandiwaranya mewakili gejolak pemikiran secara individu dan bukan mewakili kelompok sosial tertentu. Misalnya pada tokoh Nyonya Alving dalam karyanya berjudul Ghosts. Dalam Ghosts diceritakan bahwa Nyonya Alving harus bersusah payah menahan perasaan serta sakit hatinya demi menutupi perilaku menyimpang suaminya sebagai seorang pejabat yang telah meniduri pembantunya sendiri serta berpenyakit sifilis. Pada akhirnya Nyonya Alving harus membongkar semua ceritanya pada seorang pendeta, sahabatnya yang sebenarnya seseorang yang ia cintai sebelumnya. Di akhir cerita sang Pendeta membakar sebuah panti asuhan milik keluarga Alving yang pernah dijadikan kedok untuk menutupi segala keburukan suami nyonya Alving. Pada saat bersamaan putera nyonya Alving yang baru pulang dari sekolahnya diluar kota mengalami sekarat karena penyakit kelamin yang ditularkan ayahnya sejak dalam kandungan. Ini adalah sebuah karya yang sangat berani menggambarkan sosok seorang terpandang di masyarakat namun mempunyai banyak kekurangan yang seringkali ditutup-tutupi karena alasan nilai-nilai dan aturan sosialnya.
Selain itu ibsen membongkar kebobrokan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga masyarakatnya. Di dalam “The Doll’s House” egoisme kaum laki-laki dihantamnya sambil sekaligus mengangkat kedudukan wanita. Di dalam “An Enemy of The People”, kepengecutan dan vested –interested dijadikan bulan-bulanan serangannya. Di dalam “Ghosts” (Hantu-hantu), lembaga-lembaga yang membelenggu kebebasan manusia untuk memperoleh kebahagiaannya dibongkar dan diporakporandakan (Saini K. M., 1993:31)
Apabila kita cermati dalam cerita karangan Ibsen tersebut sangat memperlihatkan pertarungan seorang individu melawan tatanan nilai-nilai yang telah tertanam dalam masyarakat. Bahkan pihak gereja, dalam hal ini diwakili oleh tokoh pendeta, tidak mampu untuk memberontaknya. Ini merupakan ciri dari pemberontakan aliran teater realisme saat itu. Meski demikian efek katarsis seperti dalam kisah drama-drama yunani klassik masih diadopsi. Jika kita amati peristiwa tragedi dalam cerita-cerita Ibsen seringkali di pakai. Sebagai contoh adalah kesedihan Nyonya Alving diakhir cerita dalam menghadapi kenyataan bahwa puteranya harus menanggung akibat perbuatan mendiang ayahnya di masa lampau.
Teater realisme pada masa awal abad 20 berusaha memposisikan dirinya sebagai sebuah wahana untuk melakukan kritik serta pendorong bangkitnya kritisisme pada masyarakat menyikapi lingkungan sosialnya. Teater realisme mencoba memberikan sarana pendidikan ideologis dan mencoba melakukan eksperimentasi psikologis terhadap masyarakat. Teater realisme mencoba menjadi forum dialog intelektualitas bagi komunitas kaum intelek yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas dalam pemahaman manusia sebagai individu. Saat sistem nilai dalam masyarakat mencoba menekan kompleksitas tersebut maka teater realisme mencoba untuk menunjukkan perlawanan antara sisi internal individu yang kosmotik dengan institus eksternal yang khaotik.
Untuk mendukung pengungkapan cerita diatas panggung maka tampillah Stanilavsky yang memperkenalkan bentuk tehnik berperan yang baru. Penemuan bentuk permainan pemeranan yang baru ini memperlihatkan konsep manusia sebagai pribadi yang kompleks. Maka hal ini sangat cocok kiranya jika digunakan sebagai alat ungkap karya-karya penulis drama aliran realisme. Dalam tehnik bermain yang diperkenalkan oleh stanilavsky lebih mengarah pada bentuk-bentuk gestur natural, kehalusan emosi. Maka tidak seperti pada masa sebelumnya, efek pengungkapan bahasa secara oratorik serta gesture yang “diindah-indahkan” sudah mulai ditinggalkan. Efek yang tercipta pada penggunaan tehnik bermain semacam ini memberikan gambaran secara kompleks tentang segala masalah pada manusia secara terang-terangan serta memberikan gambaran kedalaman perasaan tokoh-tokoh yang dimunculkan oleh sang pengarang cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar