Sabtu, 09 April 2011

Lima Idiom Dalam Estetika Postmodern

Bahwa estetik, dulu maupun sekarang merupakan suatu pengertian yang dominan dalam paham kebudayaan dan penghayatan kebudayaan di Indonesia. Persoalannya apakah seni harus berpedoman pada ide keindahan universal, atau dia harus memperhatikan kelenturan ide keindahan dan tingkat penghayatan keindahan dari lingkungan terdekatnya?

Pengertian estetika sebagai filsafat pada prisipnya telah menempatkan pada satu titik dikotomi antara realita dan abstraksi, serta antara keindahan dan makana. Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam konvensional, melainkan telah bergeser kearah sebuah wacana dan fenomena. Menilai bahwa praktik estetika di masa kini berbeda dengan praktik estetikan masa sebelumnya yang bersifat progresif, rasional, dan serius. Kini praktik estetika beralih kepada pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik, irasional dan ironis (Agus, 2002:65).

Piliang (2003) melihat lima idiom wacana estetika postmodern adalah; pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Konsep-konsep estetik tersebut secara luas telah digunakan sebagai model pemuatan makna-makna, dan juga anti makna.

-Pastiche

Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai miskin kreativitas, orsinilitas, keontentikan dan kebebasan. Pastiche sering kali dikaburkan dengan kategori-kategori estetik yang sejenis: parodi, burlesque, travestry, plagiarisme, kutipan, alusi atau satire. Perbedaan antara pastiche dan parodi terletak pada ‘model relasinya’ dengan teks atau karya yang menjadi rujukannya. Sedangkan penekanan parodi pada menggali, mencari dan menonjolkan ‘perbedaan-perbedaan’ dengan teks rujukannya

Dengan demikian pastiche mengambil bentuk-bentuk teks atau bahasa estetik dari berbagai fragmen sejarah, sekaligus mencabutnya dari ‘semangat jamannya’, dan menempatkannya kedalam konteks ‘semangat jaman’ masa kini. Oleh sebab itu pastiche adalah satu bentuk parodi terhadap sejarah. Menurut Eco (1973) dalam Piliang (1999:150), ia merupakan suatu “…perang terhadap sejarah…sebab, sejarah tidak dapat diulangi.



-.Parodi

Robert Venturi, Denis Scott Brown & Steven Izenour dalam tulisannya Learning From Las Vegas menyatakan;

“Substansi bagi seorang penulis tidak hanya melingkupi realitas-realitas yang ia anggap ditemukan; substansi yang mengandung lebih dari sekedar realitas-realitas ini yang disediakan untuknya oleh literatur dan idiom-idiom dari zamannya sendiri dan oleh citraan-citraan yang masih memiliki vitalitas dalam literatur masa lalu. Berkaitan dengan gaya, seorang penulis dapat mengekspresikan perasaannya tentang substansi ini dengan cara imitasi-bila substansi ini mendapat tempat di dalam dirinya, atau dengan cara parodi” (Venturi dkk, 1989, dikutip dalam Piliang, 2003:213).



Parodi adalah satu bentuk dialog antar teks dan sebagai oposisi atau kontras. Ada dua pengertian tentang Parodi, pertama parodi salah satu bentuk dialog antara satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya. Kedua; tujuan dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Parodi juga merupakan salah satu bentuk imitasi yang selalu mengambil keuntungan dari taks yang menjadi sasaran (kelemahan, kekurangan, keseriusan atau bahkan kemasyuran), makanya parodi sebagai satu bentuk wacana selalu memperalat wacana pihak lain untuk menghasilkan efek makna idealitas dan nilai estetika yang dibangunnya.

Dengan demikian ekspresi estetik, pengalaman estetik dan penikmat estetik, semuanya terkait dengan perasaan tidak nyaman engan kategori-kategori dan kode syair dan menggantinya dengan yang baru.



-Kitsch

Istilah kitsch berasal dari bahasa Jerman Verkitschen (membuat rumah) dan kitschen secara literal berarti ‘memungut sampah dari jalan’. Oleh karena itu , istilah kich sering diartikan sampah artistik atau selera rendah (bad taste).

Menurut Umberco Eco dalam Piliang (2003) kitsch mengidentifikasikan dirinya dengan stylemes, dalam sudut pandang ilmu bahasa struktural, lanjut Eco kitsch adalah stylemes yang diabstraksikan dari konteks asalnya dan sisipan kedalam satu konteks yang strukturnya secara umum tidak memiliki karakter homogenitas dan kepentingan yang sama sebagaimana konteks asalnya. Sedangkan hasilnya adalah karya yang diciptakan secara segar mampu menghasilkan pengalaman baru (Eco, 1989; dikutip dalam Piliang, 2003:219).

Berdasar Eco dalam Piliang (2003) kitsch merupakan usaha memassakan seni, perkembangan kitsch tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumsi massa dan kebudayaan. Oleh karena itu, sebagaimana halnya parodi, kitsch merupakan stylemes untuk kepentingan citranya. Akan tetapi berbeda dengan parodi yang produksinya didasarkan oleh semangat kritik, bermain (play), produksi kich lebih didasarkan oleh semangat reproduksi, adaptasi, simulasi. Produksi kitsch lebih didasarkan oleh proses demitosasi nilai-nilai seni. Ktsich mengadaptasi dari medium ke medium lain atau dari satu tipe seni ke tipe seni yang lain.



-Camp

Camp adalah satu idiom estetik yang masih menimbulkan pengertian kontradiktif (Piliang, 1999:161). Satu pihak mengasosiasikan denga pembentukan makna, dan di sisi lain justru diasosiasikan dengan kemiskinan makna. Menurut Sotang (1986) dalam Piliang, camp adalah satu model ‘estetisisme’ atau satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian ‘keartifisialan’ dan penggayaan.



-Skizofrenia.

Skizofrenia adalah sebuah istilah psikoanalisis yang pada awalnya digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Namun demikian dalam perkembangannya wacana ini berkembang dan digunakan untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas, termasuk didalamnya peristiwa bahasa (Lacan), fenomena sosial ekonomi, sosial politik (Deleuze dan Guattari), dan fenomena estetika (Jameson) (Piliang, 2003:227).

Senin, 28 Maret 2011

PDKT Sutradara terhadap Pemain


1.    Mengerti dan mengenal pemain


a.    Menyamakan persepsi kepada semua pemain tentang materi yang akan digarap


b.    Pemain mempunyai  latar belakang kematangan jiwa, psikologis, serta tingkah laku yang berbeda-beda. Tetapi beberapa hal yang sama adalah           :


a)    Tiap pemain ingin bermain dengan baik


b)    Ingin selalu yakin terhadap sutradara, berharap sutradara menjadi sumber inspirasi dan ide serta motivator dalam latihan


c)     Mendapatkan pujian dan tidak dikritik secara terbuka


d)    Ingin diterima sebagai anggota meskipun memperoleh peran yang kecil


2.    Menyadari sebagai sutradara


a.    Harus mampu membina komunikasi dengan baik


b.    Harus mampu memompakan tujuan pementasan kepada pemain, yaitu keinginan bersama untuk mencapai pementasan yang baik


c.     Jangan memperlakukan pemain sebagai pelampiasan nafsu tertekan karena tidak mampu menjadi pemain


d.    Percaya diri dalam penafsiran (tdk boleh bimbang) memiliki pribadi yang kuat, percaya diri, pengalaman dan pengetahuan teater yang baik


e.     Disiplin, sabar, adil. Tekun. Menghormati setiap anggotanya (para pemain)


f.      Membangun kegairahan latihan

TEKNIK DASAR PENYUTRADARAAN

RUANG LINGKUP KERJA PENYUTRADARAAN
(Pemahaman Dasar)


George R. Kernoddle, Invitation to the Theatre (USA: Harcourt, Brace & World,Inc., 1967), 337—339.
Ruang lingkup/wilayah kerja  sutradara terdiri dari tiga tahap. Pertama,  perencanaan. Kedua, pelatihan. Ketiga, pertunjukan.

Tahap perencanaan: naskah diterjemahkan dari naskah drama menjadi  naskah utuh, divisualisasikan dalam ruang, waktu, dan warna pemanggungan oleh sutradara

Tahap pelatihan: naskah diubah bentuknya menjadi tubuh dan suara aktor, serta perancang artistik merancang naskah menjadi elemen artistik pertunjukan.

Tahap pertunjukan: sutradara, penulis, dan desainer menyingkir. Stage manager dan crew panggung membantu aktor menghadirkan naskah di atas panggung

Pilihan materi dan teknik penyutradaraan:
 
Materi: aksi, ruang, garis, bentuk, warna, suasana.
Teknik: komposisi, gambar keterkaitan adegan, gerak dan gerak berpindah,penghayatan dramatik, irama permainan.
 
Robert Cohen, Theatre Brief Edition (USA, Mayfield Publishing Company,1983), 144-163.
Ruang lingkup/wilayah kerja penyutradaraan adalah memilih naskah, menganalisis naskah, merancang audisi dan melakukan kasting peran, serta membimbing latihan aktor.

Penyutradaraan menekankan pada pertemuan dengan manusia ketika menggulirkan ide-idenya, memvisualisasikan konsep dan mengekspresikan perasaannya.

Seorang sutradara diharuskan memiliki banyak imajinasi dan bakat kepemimpinan.

Tahapan-tahapan penyutradaraan:
  Tahap 1: Persiapan: pemilihan naskah, konsep, pilihan staf, merancang ide, dan kasting.
  Tahap 2: Implementasi: pemanggungan, pelatihan, uji coba, koordinasi, dan penampilan

Sekilas Teater Realisme di Barat



Lahirnya realisme dalam sejarah teater barat menandai optimisme abad 20. Optimisme itu terasa dengan mendudukkan manusia secara individu sebagai pihak yang dapat menjadi agen perubahan. Karya–karya Ibsen yang berani mengungkapkan kebobrokan moral masyarakat saat itu membuktikan sebagai individu yang bersikap “memberontak nilai-nilai”. Ibsen menganggap bahwa kebobrokan moral kaum pejabat dan borjuis waktu itu terlampau ditutup-tutupi dengan norma-norma yang terlalu mengagungkan keberadaan manusia sebagai makhluk yang tak boleh jatuh martabatnya. Akibat peng-agung-agungan tersebut maka banyak sekali kebobrokan moral yang disembunyikan baik secara individu maupun bersama-sama. Masyarakat waktu itu bersikap bungkam dan membiarkan saja perilaku menyimpang dari para pejabat yang seharusnya menjadi panutan mereka. Mereka menganggap bahwa semua manusia harus terlihat sempurna dan tidak boleh terlihat cacat baik fisik maupun moralnya.
Selama hampir seratus tahun, teater hanya menggambarkan ilusi tentang kenyataan di atas panggung. Saat itu teater mengungkapkan kenyatan keseharian apa adanya, tanpa stilisasi. Oleh sebab itu istilah representasi dan presentasi digunakan untuk menginterpretasikan kenyataan tersebut (Kernoddle, 1967). Dalam karya-karya Ibsen terlihat bahwa perlawanan terhadap sistem nilai semacam itu dilakukan oleh individu-individu dan bukan oleh sebuah institusi. Tokoh-tokoh yang diciptakan dalam sandiwaranya mewakili gejolak pemikiran secara individu dan bukan mewakili kelompok sosial tertentu. Misalnya pada tokoh Nyonya Alving dalam karyanya berjudul Ghosts. Dalam Ghosts diceritakan bahwa Nyonya Alving harus bersusah payah menahan perasaan serta sakit hatinya demi menutupi perilaku menyimpang suaminya sebagai seorang pejabat yang telah meniduri pembantunya sendiri serta berpenyakit sifilis. Pada akhirnya Nyonya Alving harus membongkar semua ceritanya pada seorang pendeta, sahabatnya yang sebenarnya seseorang yang ia cintai sebelumnya. Di akhir cerita sang Pendeta membakar sebuah panti asuhan milik keluarga Alving yang pernah dijadikan kedok untuk menutupi segala keburukan suami nyonya Alving. Pada saat bersamaan putera nyonya Alving yang baru pulang dari sekolahnya diluar kota mengalami sekarat karena penyakit kelamin yang ditularkan ayahnya sejak dalam kandungan. Ini adalah sebuah karya yang sangat berani menggambarkan sosok seorang terpandang di masyarakat namun mempunyai banyak kekurangan yang seringkali ditutup-tutupi karena alasan nilai-nilai dan aturan sosialnya.
Selain itu ibsen membongkar kebobrokan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga masyarakatnya. Di dalam “The Doll’s House” egoisme kaum laki-laki dihantamnya sambil sekaligus mengangkat kedudukan wanita. Di dalam “An Enemy of The People”, kepengecutan dan vested –interested dijadikan bulan-bulanan serangannya. Di dalam “Ghosts” (Hantu-hantu), lembaga-lembaga yang membelenggu kebebasan manusia untuk memperoleh kebahagiaannya dibongkar dan diporakporandakan (Saini K. M., 1993:31)
Apabila kita cermati dalam cerita karangan Ibsen tersebut sangat memperlihatkan pertarungan seorang individu melawan tatanan nilai-nilai yang telah tertanam dalam masyarakat. Bahkan pihak gereja, dalam hal ini diwakili oleh tokoh pendeta, tidak mampu untuk memberontaknya. Ini merupakan ciri dari pemberontakan aliran teater realisme saat itu. Meski demikian efek katarsis seperti dalam kisah drama-drama yunani klassik masih diadopsi. Jika kita amati peristiwa tragedi dalam cerita-cerita Ibsen seringkali di pakai. Sebagai contoh adalah kesedihan Nyonya Alving diakhir cerita dalam menghadapi kenyataan bahwa puteranya harus menanggung akibat perbuatan mendiang ayahnya di masa lampau.
Teater realisme pada masa awal abad 20 berusaha memposisikan dirinya sebagai sebuah wahana untuk melakukan kritik serta pendorong bangkitnya kritisisme pada masyarakat menyikapi lingkungan sosialnya. Teater realisme mencoba memberikan sarana pendidikan ideologis dan mencoba melakukan eksperimentasi psikologis terhadap masyarakat. Teater realisme mencoba menjadi forum dialog intelektualitas bagi komunitas kaum intelek yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas dalam pemahaman manusia sebagai individu. Saat sistem nilai dalam masyarakat mencoba menekan kompleksitas tersebut maka teater realisme mencoba untuk menunjukkan perlawanan antara sisi internal individu yang kosmotik dengan institus eksternal yang khaotik.
Untuk mendukung pengungkapan cerita diatas panggung maka tampillah Stanilavsky yang memperkenalkan bentuk tehnik berperan yang baru. Penemuan bentuk permainan pemeranan yang baru ini memperlihatkan konsep manusia sebagai pribadi yang kompleks. Maka hal ini sangat cocok kiranya jika digunakan sebagai alat ungkap karya-karya penulis drama aliran realisme. Dalam tehnik bermain yang diperkenalkan oleh stanilavsky lebih mengarah pada bentuk-bentuk gestur natural, kehalusan emosi. Maka tidak seperti pada masa sebelumnya, efek pengungkapan bahasa secara oratorik serta gesture yang “diindah-indahkan” sudah mulai ditinggalkan. Efek yang tercipta pada penggunaan tehnik bermain semacam ini memberikan gambaran secara kompleks tentang segala masalah pada manusia secara terang-terangan serta memberikan gambaran kedalaman perasaan tokoh-tokoh yang dimunculkan oleh sang pengarang cerita.