Bahwa estetik, dulu maupun sekarang merupakan suatu pengertian yang dominan dalam paham kebudayaan dan penghayatan kebudayaan di Indonesia. Persoalannya apakah seni harus berpedoman pada ide keindahan universal, atau dia harus memperhatikan kelenturan ide keindahan dan tingkat penghayatan keindahan dari lingkungan terdekatnya?
Pengertian estetika sebagai filsafat pada prisipnya telah menempatkan pada satu titik dikotomi antara realita dan abstraksi, serta antara keindahan dan makana. Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam konvensional, melainkan telah bergeser kearah sebuah wacana dan fenomena. Menilai bahwa praktik estetika di masa kini berbeda dengan praktik estetikan masa sebelumnya yang bersifat progresif, rasional, dan serius. Kini praktik estetika beralih kepada pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik, irasional dan ironis (Agus, 2002:65).
Piliang (2003) melihat lima idiom wacana estetika postmodern adalah; pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Konsep-konsep estetik tersebut secara luas telah digunakan sebagai model pemuatan makna-makna, dan juga anti makna.
-Pastiche
Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai miskin kreativitas, orsinilitas, keontentikan dan kebebasan. Pastiche sering kali dikaburkan dengan kategori-kategori estetik yang sejenis: parodi, burlesque, travestry, plagiarisme, kutipan, alusi atau satire. Perbedaan antara pastiche dan parodi terletak pada ‘model relasinya’ dengan teks atau karya yang menjadi rujukannya. Sedangkan penekanan parodi pada menggali, mencari dan menonjolkan ‘perbedaan-perbedaan’ dengan teks rujukannya
Dengan demikian pastiche mengambil bentuk-bentuk teks atau bahasa estetik dari berbagai fragmen sejarah, sekaligus mencabutnya dari ‘semangat jamannya’, dan menempatkannya kedalam konteks ‘semangat jaman’ masa kini. Oleh sebab itu pastiche adalah satu bentuk parodi terhadap sejarah. Menurut Eco (1973) dalam Piliang (1999:150), ia merupakan suatu “…perang terhadap sejarah…sebab, sejarah tidak dapat diulangi.
-.Parodi
Robert Venturi, Denis Scott Brown & Steven Izenour dalam tulisannya Learning From Las Vegas menyatakan;
“Substansi bagi seorang penulis tidak hanya melingkupi realitas-realitas yang ia anggap ditemukan; substansi yang mengandung lebih dari sekedar realitas-realitas ini yang disediakan untuknya oleh literatur dan idiom-idiom dari zamannya sendiri dan oleh citraan-citraan yang masih memiliki vitalitas dalam literatur masa lalu. Berkaitan dengan gaya, seorang penulis dapat mengekspresikan perasaannya tentang substansi ini dengan cara imitasi-bila substansi ini mendapat tempat di dalam dirinya, atau dengan cara parodi” (Venturi dkk, 1989, dikutip dalam Piliang, 2003:213).
Parodi adalah satu bentuk dialog antar teks dan sebagai oposisi atau kontras. Ada dua pengertian tentang Parodi, pertama parodi salah satu bentuk dialog antara satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya. Kedua; tujuan dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Parodi juga merupakan salah satu bentuk imitasi yang selalu mengambil keuntungan dari taks yang menjadi sasaran (kelemahan, kekurangan, keseriusan atau bahkan kemasyuran), makanya parodi sebagai satu bentuk wacana selalu memperalat wacana pihak lain untuk menghasilkan efek makna idealitas dan nilai estetika yang dibangunnya.
Dengan demikian ekspresi estetik, pengalaman estetik dan penikmat estetik, semuanya terkait dengan perasaan tidak nyaman engan kategori-kategori dan kode syair dan menggantinya dengan yang baru.
-Kitsch
Istilah kitsch berasal dari bahasa Jerman Verkitschen (membuat rumah) dan kitschen secara literal berarti ‘memungut sampah dari jalan’. Oleh karena itu , istilah kich sering diartikan sampah artistik atau selera rendah (bad taste).
Menurut Umberco Eco dalam Piliang (2003) kitsch mengidentifikasikan dirinya dengan stylemes, dalam sudut pandang ilmu bahasa struktural, lanjut Eco kitsch adalah stylemes yang diabstraksikan dari konteks asalnya dan sisipan kedalam satu konteks yang strukturnya secara umum tidak memiliki karakter homogenitas dan kepentingan yang sama sebagaimana konteks asalnya. Sedangkan hasilnya adalah karya yang diciptakan secara segar mampu menghasilkan pengalaman baru (Eco, 1989; dikutip dalam Piliang, 2003:219).
Berdasar Eco dalam Piliang (2003) kitsch merupakan usaha memassakan seni, perkembangan kitsch tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumsi massa dan kebudayaan. Oleh karena itu, sebagaimana halnya parodi, kitsch merupakan stylemes untuk kepentingan citranya. Akan tetapi berbeda dengan parodi yang produksinya didasarkan oleh semangat kritik, bermain (play), produksi kich lebih didasarkan oleh semangat reproduksi, adaptasi, simulasi. Produksi kitsch lebih didasarkan oleh proses demitosasi nilai-nilai seni. Ktsich mengadaptasi dari medium ke medium lain atau dari satu tipe seni ke tipe seni yang lain.
-Camp
Camp adalah satu idiom estetik yang masih menimbulkan pengertian kontradiktif (Piliang, 1999:161). Satu pihak mengasosiasikan denga pembentukan makna, dan di sisi lain justru diasosiasikan dengan kemiskinan makna. Menurut Sotang (1986) dalam Piliang, camp adalah satu model ‘estetisisme’ atau satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian ‘keartifisialan’ dan penggayaan.
-Skizofrenia.
Skizofrenia adalah sebuah istilah psikoanalisis yang pada awalnya digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Namun demikian dalam perkembangannya wacana ini berkembang dan digunakan untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas, termasuk didalamnya peristiwa bahasa (Lacan), fenomena sosial ekonomi, sosial politik (Deleuze dan Guattari), dan fenomena estetika (Jameson) (Piliang, 2003:227).